Monday, December 07, 2009

Pernyataan masyarakat sipil Indonesia dalam Rangka Asean Committee on Migrant Workers meeting di Malaysia

Pernyataan masyarakat sipil Indonesia dalam Rangka Asean Committee on Migrant Workers meeting di Malaysia


Monday, 07 December 2009 23:22
Permasalahan di Indonesia, UU No 39/2004 sebagai peraturan tertinggi dalam menangani masalah buruh migran tidak memasukkan definisi mengenai buruh migran yang tidak berdokumen. UU ini juga tidak berperspektif perlindungan. Padahal, undocumented and documented terkait dengan perkembangan krisis global yang kian akut memicu beberapa negara penerima seperti pemerintah Hongkong untuk melakukan kebijakan yang mendorong buruh migran untuk tidak mempunyai dokumen misalnya two-weeks rule. Selain itu, terjadinya krisis ekonomi mendorong negara penerima meningkatkan kebutuhan BMI yang tidak berdokumen (agar tidak punya hak untuk melakukan apapun dan untuk mendapatkan tenaga buruh murah).
Di negara pengirim seperti Indonesia, memilih menjadi buruh migran tidak berdokumen karena keterpaksaan agar tidak di bebani pungutan biaya yang mahal dari proses pemberangkatan ketika menjadi buruh migran.

Definisi buruh migran menurut konvensi internasional mengenai perlindungan hak semua buruh migran dan keluarganya thn 1990 mengatakan bahwa istilah buruh migran adalah seseorang yang akan, tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara dimana dia bukan menjadi warganegara.

Sayangnya, definisi dan perspektif buruh migran ini tidak dimiliki oleh negara penerima di Asean. Oleh sebab itu, sehubungan dengan akan dilaksanakannya pertemuan Komite Buruh Migran Asean pada tanggal 7-8 Desember 2009 di Malaysia, maka dengan ini kami dari Masyarakat Sipil Indonesia mendesak pemerintah negara pengirim yaitu pemerintah Indonesia (yang diwakili oleh Menteri Tenaga Kerja, Menteri Luar Negeri) dan pemerintah Filipina, serta negara penerima yaitu pemerintah Malaysia dan Thailand untuk memperhatikan tuntutan-tuntutan dari serikat/asosiasi buruh migran, serikat buruh, dan masyarakat sipil Indonesia untuk perlindungan dan promosi hak-hak buruh migran sebagai berikut:

  1. Mengakui bahwa domestik Worker adalah pekerja. Karena dalam konvensi internasional mengenai perlindungan hak semua buruh migran dan anggota keluarganya mendefinisikan bahwa buruh migran adalah orang yang terikat, atau telah terikat.
  2. Mendesak pemerintah Malaysia dan Indonesia untuk menggunakan standard pengertian konvensi internasional thn 1990 dalam framework instrument perlindungan buruh migran di Asean. Hal ini kami sebutkan secara khusus karena pemerintah Malaysia tidak mengakui domestik worker sebagai pekerja, hal ini bertentangan dengan pengertian pekerja dalam konvensi tersebut.
  3. Mengakui hak-hak buruh migran seperti standard kontrak kerja yang didalamnya termasuk gaji, potongan illegal (overcharging), jam kerja, pelayanan bantuan hukum, dll tanpa diskriminasi pada seluruh buruh migran.
  4. Mendesak untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya tahun 1990. Hal ini sesuai dengan general recommendation Cedaw no 26.
  5. Mendesak tim drafting ACMW untuk memasukkan ketentuan yang disebutkan dalam artikel 25 mengenai persamaan hak warganegara dengan buruh migran yang bekerja di negara tersebut (asas national treatment).
  6. Mendesak negara Penyusun ACMW untuk mempertimbangkan framework instrument perlindungan dan promosi hak-hak buruh migran dari masyarakat sipil Asean secara menyeluruh dan mengikat secara hukum.
ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia)
SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia)
UNIMIG/ SPMI (Serikat Pekerja Migran Indonesia)
ASPEK Indonesia
INDIES
Solidaritas Perempuan
HRWG (Human Rights Working groups)
Institute for Ecosoc Rights
Jakarta, Kamis, 3 Desember 2009

No comments: